Tugas Bahasa Indonesia
a. Contoh Resensi Buku
Sebagai seorang yang sangat suka membaca saya selalu tergelitik ingin tahu apakah orang-orang yang pekerjaannya menjual bahan-bahan bacaan seperti penjual koran, penjual buku-buku bekas, pramugari toko buku, dll membaca juga apa yang mereka jajakan? Jika
memang demikian tentunya akan banyak sekali manfaat yang mereka peroleh
dari apa yang mereka jajakan karena buku, koran, majalah, dll adalah
sumber pengetahuan dan ispirasi hidup yang begitu mudah mereka dapatkan
hanya dengan cara membacanya.
Itulah
yang dialami N. Mursidi, seorang anak desa yang mencoba membiayai
kuliahnya di Jogya dengan cara berjualan koran. Sebelumnya cita-citanya
hanyalah bisa kuliah dan memperoleh pekerjaan yang layak. Namun siapa
sangka, dari yang tadinya berjualan koran hanya untuk sekedar membiayai
hidup dan kuliahnya ternyata dari koran-koran yang ia jajakan itu jalan
hidup dan mimpinya berubah.
Berawal dari seorang tukang becak yang selalu membeli korannya untuk dibacanya membuat Mursidi tergeragap melihat begitu antusiasnya seorang tukang yang rela menyisihkan sedikit hasil jerih lelahnya untuk membeli koran dan membacanya dengan tekun.
Berawal dari seorang tukang becak yang selalu membeli korannya untuk dibacanya membuat Mursidi tergeragap melihat begitu antusiasnya seorang tukang yang rela menyisihkan sedikit hasil jerih lelahnya untuk membeli koran dan membacanya dengan tekun.
“Aku
merasa malu pada diriku sendiri. Selama tujuh hari berjualan koran, aku
tidak pernah membaca koran yang kujajakan sendiri. Aku seperti tidak
peduli dengan apa yang kujual karena yang kuinginkan adalah koranku
lalu… Tak pernah aku meluangkan waktu untuk membaca dengan detail isi
berita koran yang kujual” (hlm 5-6)
Tergugah
oleh apa yang dilakukan tukang becak itu maka iapun tergerak untuk
membaca setumpuk koran yang dijualnya. Dari apa yang dibacanya itu
Mursidi menemukan sebuah opini yang ditulis mahasisiwa di sebuah rubrik
koran yang dijualnya. Dari situ dirinya tersadarka akan sebuah
kenyataan bahwa mahasiswa seperti dirinya bisa menulis di koran apalagi
ketika dirinya membaca rubrik resensi di koran Mingggu yang biasanya
ditulis oleh para mahasiswa. Saat itulah ia memutuskan untuk bisa
menulis di koran.
“Setiap
selesai membaca tulisan-tulisan penulis yang masih berstatus mahasiswa
itu, otakku serasa mendidih bagai air yang dijerang di atas tungku. Ada
sekelebat mimpi di dadaku yang memompaku untuk bisa menulis; menorehkan
namaku di koran seperti mereka. Maka dalam hati, aku berjanji bahwa
suatu saat nanti aku harus bisa menulis di koran.” (hlm 6)
Semenjak itu pula dirinya makin rajin membaca koran yang
dijualnya dan mempelajari tulisan yang dimuat secara koran secara
otodidak dan mulailah ritual baru dalam kehidupannya, pagi berjualan
koran dan membaca koran setiap ada kesempatan, siang berangkat kuliah,
dan malam harinya menulis dengan mesin tik bekas yang dibeli dari
temannya. Demi menghasilkan tulisan ia rela memotong waktu tidurnya agar
memiliki waktu banyak untuk menulis dan mencoba mengirimkan
tulisan-tulisannya ke sejumlah koran.
"Waktu
itu, aku memang sengaja tidak membeli bantal agar jam tidurku tidak
berkepanjangan. Tak salah, karena di kamar banyak buku, maka buku-bukuku
itulah yang kerap kujadikan bantal. Tak jarang, aku pun bahkan memakai
alas tumpukan koran sebagai bantal" (hlm 172-173)
Namun
tak semudah yang ia bayangkan, ia harus menghadapi banyak tantangan,
ada banyak jalan berliku, perjuangan yang tidak mudah, persaingan yang
ketat antara sesama penulis, dan ekstra kesabaran yang harus dilakonimya
sebelum akhirnya tulisannya dimuat di koran. Dan karena ketekunannya
membaca dan menulis secara otodidak pada akhirnya tidak hanya satu dua
tulisan yang berhasil dimuat di koran melainkan ratusan tulisannnya
menghiasi berbagai koran lokal dan nasional dan hal ini pula yang akan
mengantar dirinya menjadi seorang wartawan dan penulis tetap di sebuah
majalah islami terkenal hingga kini.
Semua pengalaman
N. Mursidi dari seorang penjual koran menjadi wartawan tersebut
tertuang dalam buku memoarnya yang berjudul “Tidur Berbantal Koran”. Buku
ini tersaji dalam 4 bagian besar. Di bagian pertama dikisahkan suka
duka penulis berjualan koran di jalanan, bagaimana trik-triknya untuk
mendapatkan pembeli, serta bagaimana kerasnya hidup di jalanan dan
bagaimana penulis dengan hidup nomaden dengan sepeda Onthelnya
Pengalaman
penulis ketika belajar menulis secara otodidak dengan mesin tik bekas
di malam hari bagaimana perjuangan penulis agar tulisannya dimuat di
koran tersaji di bagian kedua dan ketiga. Ada berbagai pengalaman
menarik di bagian ini antara lain bagaimana tulisannya menjadi
pembungkus nasi yang sedang disantapnya, pengalaman pertama mengirim
resensi via email, dan bagaimana pengalaman pahitnya ketika ia diejek
teman-temannya karena terus menerus menerima surat pengembalian resensi
dari Kompas.Dan di bagian akhir bagian ketiga ini penulis juga
menyuguhkan tips-tips membuat resensi berdasarkan pengalamannya
Di
bagian ke empat, yang merupakan bagian akhir dari memoar ini ada bagian
yang menyuguhkan tips dan buah manis dari perjuangannya menulis untuk
koran seperti tips membaca koran dan menyelami apa yang ada di balik
teks, dan kisah bagaimana akhirnya penulis hijrah ke Jakarta dan
diterima sebagai wartawan di sebuah majalah Islami terkenal.
Singkatnya
lewat memoar yang tersaji dengan menarik dan ditulis dengan jujur dan
apa adanya ini akan mendorong pembacanya untuk tidak menyerah dalam
menggapai mimpi walau seribu kesulitan dan tantangan menghadang. Buku
ini cocok sekali untuk memotivasi para penulis yang sedang mencoba
menjajal kemampuan menulisnya dan sedang memimpikan namanya tercetak di
koran-koran.
Lewat buku ini pembaca akan diajak menapaki jejak perjuangan penulis dimana awalnya ia begitu sulit menembus koran namun berkat ketekunan dan kerja kerasnya akhirnya si mantan penjual koran ini berhasil menjadi penulis produktif dimana hingga kini ada sekitar 300an tulisannya (opini, essai, cerpen, resensi) yang sudah dimuat di koran lokal dan nasional. Tak berlebihan rasanya jika harian Jurnal Nasional menyebutnya sebagai "Raja Resensi"
Lewat buku ini pembaca akan diajak menapaki jejak perjuangan penulis dimana awalnya ia begitu sulit menembus koran namun berkat ketekunan dan kerja kerasnya akhirnya si mantan penjual koran ini berhasil menjadi penulis produktif dimana hingga kini ada sekitar 300an tulisannya (opini, essai, cerpen, resensi) yang sudah dimuat di koran lokal dan nasional. Tak berlebihan rasanya jika harian Jurnal Nasional menyebutnya sebagai "Raja Resensi"
Satu-satunya
kritik terhadap buku ini adalah pada label yang diberikan penerbit pada
memoar ini. Di cover buku ini tepatnya di atas nama penulisnya tertera
tulisan "Sebuah Novel" padahal dalam pendahuluannya penulis dengan jelas
menyebutkan bahwa buku ini adalah Memoar. Lalu kenapa menjadi novel?
padahal novel dan memoar adalah dua hal yang berbeda. Atau apakah ini
novelisasi dari pengalaman penulis? Dalam sebuah kesempatan saya pernah
menanyakan langsung pada penulisnya, dan beliau mengatakan bahwa semua
yang ditulis dalam buku ini adalah kisah nyata dan tidak ada dramatisasi
kisah seperti layaknya sebuah novel yang diangkat dari kisah nyata.
Jika ini memoar, kenapa penerbit mencantumkan label novel pada buku ini? Apakah ini hanyalah strategi pasar? Bagi seorang pembaca saya tentunya tidak bisa menerima alasan ini karena yang dibutuhkan pembaca sejati adalah buku yang kemasannya (cover, label, judul, sinopsis, dll) mencerminkan isi buku yang sesuai dengan apa yang hendak disampaikan penulisnya.
Jika ini memoar, kenapa penerbit mencantumkan label novel pada buku ini? Apakah ini hanyalah strategi pasar? Bagi seorang pembaca saya tentunya tidak bisa menerima alasan ini karena yang dibutuhkan pembaca sejati adalah buku yang kemasannya (cover, label, judul, sinopsis, dll) mencerminkan isi buku yang sesuai dengan apa yang hendak disampaikan penulisnya.
- Identitas Buku
Judul : Tidur Berbantal Koran
Penulis : N. Mursidi
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tahun Terbit : Pertama, 2013
Jumlah Halaman : 246 halaman
ISBN : 978-602-020-594-6
Penulis : N. Mursidi
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tahun Terbit : Pertama, 2013
Jumlah Halaman : 246 halaman
ISBN : 978-602-020-594-6
- Kelebihan dan Kekurangan Buku
Kelebihan Buku:
1. Cover
buku cukup menarik dan sesuai dengan keadaan penulis pada saat itu yang
menjadi seorang mahasiswa di Yogjakarta. (yaitu diikut sertakannya tugu
Yogja pada Cover tsb.)
2. Buku ini menceritakan kisah dari seorang mahasiswa.
3. Buku
ini ditulis dengan jujur dan apa adanya, tidak ada dramatisasi kisah
seperti layaknya sebuah novel yang diangkat dari kisah nyata.
4. Buku ini mengajarkan kita akan arti perjuangan yang akan sia-sia tanpa pengorbanan dan usaha yang keras.
Kekurangan Buku
Label yang diberikan penerbit seharusnya sama dengan apa yang ditulis oleh penulis. Bukan sebuah “novel” tapi sebuah “memoar”.
- Pendapat Resensator terhadap Buku “Tidur Berbantal Koran”
Di
cover buku ini tepatnya di atas nama penulisnya tertera tulisan "Sebuah
Novel" padahal dalam pendahuluannya penulis dengan jelas menyebutkan
bahwa buku ini adalah Memoar. Lalu kenapa menjadi novel? padahal novel
dan memoar adalah dua hal yang berbeda. Atau apakah ini novelisasi dari
pengalaman penulis? Dalam sebuah kesempatan saya pernah menanyakan
langsung pada penulisnya, dan beliau mengatakan bahwa semua yang ditulis
dalam buku ini adalah kisah nyata dan tidak ada dramatisasi kisah
seperti layaknya sebuah novel yang diangkat dari kisah nyata. Jika ini
memoar, kenapa penerbit mencantumkan label novel pada buku ini? Apakah
ini hanyalah strategi pasar? Bagi seorang pembaca saya tentunya tidak
bisa menerima alasan ini karena yang dibutuhkan pembaca sejati adalah
buku yang kemasannya (cover, label, judul, sinopsis, dll) mencerminkan
isi buku yang sesuai dengan apa yang hendak disampaikan penulisnya.
bagus !!!!
ReplyDeletemakasih :)
Deletemaaf, anda tiba-tiba menulis angka 2.Identitas buku lalu nomor 1 nya mana?
ReplyDeleteTERIMAKASIH BANYAKK!! SANGAT MEMBANTU...
ReplyDeletesama-sama :)
Deletethanks
ReplyDeletemakasih
ReplyDeleteJenis?
ReplyDeleteSiip bossssss
ReplyDelete